Senin, 09 Maret 2015

Mengenal Dengan Sederhana (bagian 2)

sambungan dari bagian 1

Minggu demi minggu berlalu semakin dekat ku dengan UN, bisa di bilang tinggal 2-3 bulang lagi berperang dengan UN. Aku sudah tak lagi menulis seperti biasanya, ku urungkan niatku untuk menulis karena aku akan lebih focus latihan mengerjakan soal UN. Namun di kala ku belajar di kantin, Vendi tiba-tiba duduk di depan ku. Melihat ku dengan tatapan tajam nya, senyuman mautnya, dan keramahan yang luar biasa.
Kedekatan kami mungkin kali ini memang udah lebih, sering kerja kelompok bareng, selalu di antar jemput, kurang baik apa dia ke aku. Sungguh perhatian yang membuatku semakin menyayangiku. Hingga keheningan terbuka olehnya. Memberikan sebuah coklat untuk ku, dan entah apa yang akan dilakukan, dia memegang ke dua tangan ku. Hatiku semakin berdebar akan hal itu.
“Tya selama ini mungkin sudah cukup kita kenalan, kita udah sangat dekat, aku pun sudah mengenal banyak hal tentangmu, perasaan ini muncul entah kapan, aku juga tak tahu tapi yang aku tahu kamu sudah buatku bahagia selama ini, kamu buatku nyaman ada di sampingmu. Mau nggak kamu jadi pacar aku?” kata Vendi mengagetkanku.
“aa aaku, mmaaf aku nggak bisa,” jawabku terbata-bata.
“maksud kamu apa? Kamu bener-bener nggak mau nerima aku?”
“maaf bukannya aku nggak cinta sama kamu, tapi karena aku memang belum ingin memilikimu.”
“kenapa? Apa aku kurang sempurna di matamu?”
“bukan, kamu sudah jauh lebih sempurna tapi aku memang belum memikirkan itu.”
“kamu egois Ya, ketika hati ini sudah memilih, kamu mengacuhkan begitu saja.”
“maaf Ven ketika pilihan ku buatmu sakit.”
“aku benci Ya sama kamu, benci.”
“bukan itu yang aku inginkan Ven, apapun hubungan kita aku harap kita masih bisa bareng-bareng lagi.”
“nggak, aku kira kamu baik tapi ternyata nggak, jauh dari kata baik.”
“apa karena aku tak memilihmu?”
“arrrrggggh.”
Aku bingung menghadapi seorang Vendi yang saat itu kemarahannya telah meluap. Vendi meninggalkan ku sendiri lagi di kantin ini. Menahan tangis yang ku rasakan, membuat seseorang sakit di depan mataku sendiri seakan kesakitannya benar-benar nyata buatku. Aku memang suka sama Vendi tapi bukan untuk saat ini, kenapa nggak nanti aja Ven ketika kita lulus, itu bakal aku terima. Aku akan mengejar cita-cita ku dulu dan aku harap ketika nanti kita sukses kita akan bertemu lagi.
Saat ku berada di halaman sekolah ku, terlihat Vendi yang sedang menyendiri, ku coba mendekatinya. Namun dia hanya menghindar, mencoba minta maaf namun di acuhkan. Serba bingung menghadapi Vendi yang telah memiliki kemarahan terhadap ku.
Ku ceritakan ini terhadap Laras, namun respon Laras pun tak berbaik hati terhadap ku. Memang kita lebih memilih jujur dalam pandangan kita, walaupun hasilnya akan menyakitkan.
“kamu itu maunya gimana si Ya? Giliran Vendi udah ngerasa nyaman sama kamu, dia nyatain cinta sama kamu malah kamu nggak terima?” tanya Laras.
“bukannya aku nggak mau Ras, tapi emang aku masih belum bisa sama dia saat ini.”
“aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu Ras, nggak mudah untuk memulainya lagi Ya, ingat itu.”
“maaf Ras, aku udah bikin kamu kecewa sama aku.”
“aku kecewa bukan karena aku benci kamu Ya, tapi karena mungkin emosi ku tadi meluap, tapi jangan nyesel ketika dia memilih orang lain.”
“do’ain aja Ras, semoga kuat tanpa dia lagi.”
“amin, tapi kamu masih ada yang perlu diselesaiin sama dia.”
“iya, aku harus dapat maaf darinya.”
Semangat ku kini bertambah karena masih punya hutang maaf terhadap Vendi, mau sekeras apapun dia sama aku, aku akan berusaha itu. Bukan musuh yang aku cari tapi persaudaraan yang aku inginkan.
Semakin hari, semakin focus dengan pelajaran. Namun tak focus dengan hati ku. Hati yang masih merasa sangat bersalah menyakiti Vendi. Sudah taka da lagi komunikasi diantara kami, tak ada lagi senyumannya terlontar untuk ku. Mungkin hanya kebencian yang dia rasakan.


Kangen juga rasanya di jemput Vendi namun hayalan lagi kini yang ada. Berharap tak lagi muncul penyesalan, aku akan berusaha menjadi semangat seperti biasa. Aku tahu kini kepalsuan yang terus muncul, entah sampai kapan ku harus menghadapi kepalsuan ini. Terbiasa lagi dengan kecuekan Vendi bahkan lebih dari kata cuek untuk ku, terbiasa lagi dengan melihatnya dari jauh, terbiasa lagi untuk terus bersama Kak Fino.
“kok sekarang Vendi udah nggak jemput kamu lagi Ya,?” tanay Kak Fino dengan serius.
“nggak apa-apa kok Kak,” jawabku menyembunyikannya dari Kak Fino.
“udah nggak usah bohong deh sama Kakak, Kakak tahu kok kamu nyembunyiin sesuatu kan dari Kakak.”
Mataku kini sudah tak secerah pagi ini, mendung seperti matahari yang tak lagi bersinar bahkan tertutup oleh sang awan. Tetes demi tetes kini jatuh tak bisa terbendung lagi, Kak Fino yang melihatku seperti itu seolah merasakan kesedihanku ini. Karna Kak Fino bebar-bebar peka dengan perasaan ku. Bersandar di bahu Kak Fino, terlelap dalam pelukannya membuatku lebih nyaman. Ku coba mengontrol perasaan ku agar taka da lagi kesedihan yang terpancar.
“aku udah nggak deket lagi Kak sama Vendi,” kataku memulai pembiacaraan.
“maksud kamu apa? Apa kamu lagi berantem sama Vendi?” tanya Kak Fino masih bingung.
“iya Kak, bahkan Vendi kini sangat membenciku.”
“kenapa?”
“aku yang salah kok Kak, aku yang menyakiti perasaan dia.”
“iya kenapa bisa terjadi seperti itu?”
“Vendi pernah nembak aku Kak tapi aku tolak.”
“kok kamu tolak si? Bukannya kamu juga suka yak sama dia?”
“aku emang suka Kak sama dia bener-bener suka karena dia cinta pertamaku tapi waktunya belum tepat Kak, aku pengin memiliki dia nanti ketika ku gapai impianku. Tapi ketika memang kesempatan sudah taka da lagi, mungkin emang aku udah bukan yang terbaik untuknya.”
“kamu yang egois De, kamu nggak mikirin perasaannya Vendi. Coba deh kamu pikir, dia selama ini udah baik banget sama kamu eh ternyata kamu tolak dengan alasan seperti itu. Emang itu baik De, tapi nggak semua baik di mata kita baik juga untuk orang lain. Mungkin menurutnya itu udah alasan basi, ketika kalian emang punya rasa yang sama kan bisa untuk sementara jadi semangat masing-masing karena nggak semua pacaran itu negative.”
“iya Kak, aku memang salah. Nggak seharusnya aku nyakitin dia yang selama ini udah bisa ngerubah sikapnya demi aku.”
“tapi ya udah lha, kamu juga nggak salah kok De, maafin Kakak yak yang nggak bisa ngertiin kamu.”
“Kakak bener kok, aku yang salah.”
“sekarang buktiin aja alasan mu walaupun hasilnya nanti kosong.”
“iya Kak, aku akan sukses demi Vendi.”
Itu menjadi motivasi terbesarku kali ini, mendapat pengertian lagi dari Kak Fino. Memang aku yang belum mengerti tentang cinta tapi aku akan mencoba memahami dasar-dasar tentang cinta. Sukses ku nanti akan menjadi sebuah alasan yang bermutu untuk Vendi, walaupun nanti dia telah memilih orang lain.
Keberangkatan ku menjadi awal dari kesedihan ku lagi. Melihat orang yang di sayangi telah berdampingan dengan seseorang. Ingin sekali hati ini bertanya, tapi ketika mengingat tak ada lagi yang harus ku pertanyakan.
“semoga dia yang akan terus bisa membahagiakanmu Ven,” ucapku dalam hati, menatap sepasang bola mata Vendi.
“maaf ketika yang kamu lihat seperti ini. Tapi aku masih belum kuat untuk bersamamu lagi, tapi kenapa ku lihat kesedihan di mata kamu,” Benak Vendi sambil mempertanyakanku. Walaupun tak ada jawaban dari ku, mungkin perasaannya lebih peka.
Satu minggu menjelang UN, kini benar-benar membuat jantungku semakin berdegup kencang. Siap ku hadapi, namun masih ada ragu di hati. Ku coba terus untuk memaksimalkan belajar ku tanpa harus aku memikirkan hal yang tak pantas lagi untuk ku pikirkan. Biarkan waktu yang akan menjawab kini.
Bertemu setiap hari dengan Vendi, membuat ku terus mengingat pada sebuah kesalahan besar. Berkali-kali ku coba meminta maaf namun masih belum reda amarahnya. Ku beri banyak waktu untuknya. Sangat menyakitkan ketika sebuah pertemanan menjadikan sebuah musuh. Itu yang paling tak ku suka menjadi sebuah pertengkaran yang tak kunjung selesai. Mungkin sampai lulus pun akan seperti ini.
Kini terlihat Vendi sedang sendiri di taman, entah apa yang sedang di pikirkannya karena terlihat sekali dia sedang memikirkan sesuatu. Pacarnya yang bernama Claudya mungkin sedang berada di kelasnya, ku dekati Vendi dengan keberanian yang lebih untuk siap di usir olehnya. Tapi kali ini pikiran ku salah, dia diam ketika ku mendekat. Memecahkan keheningan yang telah lama terjadi akan ku usahakan.
“apa kabar Ven?” tanyaku dengan hati-hati.
“Alhamdulillah baik, kamu gimana?” jawabnya dengan menanyakan ku balik.
Kaget saat ku mendengar pertanyaan itu berbalik ke arahku. Apakah semuanya akan baik-baik lagi seperti dulu? Itu yang ku pertanyakan dalam hati. Semoga dengan niatku yang baik akan berbuah baik juga.
“Alhamdulillah baik Ven, sendirian?”
“iya.”
“kok nggak sama Claudya?”
“dia lagi sama temen-temennya.”
“selamat yak, semoga langgeng terus sama dia.”
“makasih.”
“Andai kamu tahu Ya, hati ini masih memilih mu tapi aku pun tak ingin terus tersakiti oleh rasaku ini ketika tak bisa memilikimu. Maaf ketika Claudya menjadi pilihan ku sebagai obat sakit hati ini. Tapi aku pun tak berniat menyakitinya, semoga kita akan bahagia sama-sama,” Ucapnya dalam hati.
“gimana udah siap ujiannya?” tanyaku yang ingin sekali berbincangan dengan Vendi.
“siap nggak siap harus siap.”
“semangat yah, semoga bisa lulus dengan nilai maksimal.”
“amin, kamu juga semoga bisa mencapai cita-cita mu.”
Kata cita-cita terus membuatku terngiang akan alasan ku terhadap Vendi yang terus membuatnya sakit. Mungkin kini telah terobati oleh Claudya, aku harap dia telah melupakan perasaannya terhadapku. Aku tak ingin melihatnya sakit karena ku.
“maaf banget atas kesalahan ku yang tak bisa untuk dimaafkan,” ucapku diiringi dengan tetesan air mata yang tak sengaja keluar.
“iya lupain aja, aku juga udah lupa kok.”
“aku tahu kamu pasti masih punya rasa sakit buatku, aku tahu itu Ven. Silahkan kalau kamu mau memarahiku, mau apapun yang kamu lakukan aku akan terima itu Ven,” tetesan ku semakin deras keluar dari kelopak mata, tak bisa ku bendung lagi. Hanya bisa diam dan mengeluarkan air mata telah menyakiti seseorang yang telah membahagiakan ku sendiri.
“kamu nggak perlu kayak gitu Ya sama aku, aku yang terlalu egois,” katanya yang mulai menatap ku.
“aku memang pantas di perlakukan seperti itu Ven, sungguh aku rela ketika itu bisa menebus kesalahanku.”
“nggak Ya, semua nggak perlu di lakuin, aku udah maafin kamu kok.”
“aku ingin kamu terus bahagia Ven, walaupun itu bukan karena aku. Jujur memang sakit melihatmu dengan orang lain, namun kamu memang jauh lebih bahagia dengan Claudya.”
“kamu juga harus bahagia Ya, walaupun itu bukan karena aku. Semoga ujian kamu juga lancar dan hasilnya memuaskan.”
“maaf telah mengganggumu dan menyita waktumu.”
Ku pergi dengan perasaan yang sedikit lega mendengar kata maaf ku di terima terlontar dari seorang Vendi. Melihatnya dari jauh yang selama ini ku lakukan menjadi awal lagi untuk mengaguminya. Melihatnya bersama yang lain membuat ku mengerti tak harus memilikinya untuk membahagiakannya jika memang dari jauh pun bisa membahagiakannya.
“selamat berjuang sahabatku sekaligus orang yang pernah hadir dalam hidupku bahkan sampai saat ini bayanganmu tak pernah hilang dari ingatanku, semoga kesuksesan akan selalu menyertaimu. Biarkan yang lain membuatmu bahagia dan biarkan doaku terus mengalir untukmu,” ucapku dalam hati melihat Vendi bersama Claudya.
“andai kamu tahu aku masih terus mengingat mu dalam hayal ku, tak menjadi kenyataan ketika keinginanku telah terucap. Membuat mu bahagia itu yang ku harapkan, tak menjadikan mu pendamping tak masalah buatku asalkan melihat senyum mu itu akan terus membuatku bahagia. Ku lupakan semua yang telah terjadi di masa lalu. Ku tunggu kamu di gerbang kesuksesan nanti. Akan ku buktikan semua yang ku pelajari dari dirimu membuatku lebih baik,” katanya dalam hati dengan tatapan untuk ku dan terlontar lagi sebuah senyuman yang selama ini telah ku tunggu.
Kini hari yang telah menegangkan untuk siswa SMA datang, UN itu adalah sebuah tantangan yang dapat membuat banyak orang merasakan hal yang sama yaitu tegang, takut. Berada dalam satu ruangan ujian dengan Vendi dan Laras.
Datang lebih awal, belajar bersama sebelm menghadapi ujian, berdoa agar semua yang terjadi lancar. Begitu pun aku dan Laras sama-sama membuka buku, mempelajari satu per satu materi, berharap semua yang dapat di kerjakan dengan baik.
Namun sebelumnya ku kirimkan sebuah pesan singkat untuk Vendi yang berisi “semangat untuk besok, semoga semuanya berjalan lancar dan sukses,” tak ada balasan, mungkin sedang sibuk belajar untuk ujiannya.
Hari ini memang terlihat Vendi bersama Claudya, tapi aku senang melihatnya. Mereka menjalin hubungan tanpa menghilangkan tanggung jawab sebagai pelajar. Sama-sama giat untuk belajarnya, Claudya pantas mendapatkannya.
Hari yang menegangkan mulai berlalu, satu hari, dua hari, tiga hari hingga empat hari telah terlewati untuk seorang siswa SMA. Lega sudah rasanya, tinggal menunggu sebuah pengumuman yang menentukan masa depan kita semua.
Aku lebih memikirkan nilai ujian ku dan berharap akan masuk ke kampus yang aku inginkan yaitu UGM. Setelah lulus dari SMA ini memang aku akan melanjutkan ke UGM berbeda dengan Kak Fino yang masih dua semester lagi menyandang gelar S1. Jauh dari Kak Fino, bukan karena aku yang ingin menjauh hanya saja keinginan ku yang akan menggapai impian ku tanpa mengingat masa lalu di Jakarta ini.
Ku duduk santai di teras rumah, memandang jauh langit biru sang alam. Burung-burung berterbangan di langit, bersama-sama keluarkan kicauan nya yang merdu. Masih terdiam yang ku rasakan, tenggelam dalam kesepian dan keramaian alam. Tak pernah hilang rasa ku untuknya, sesekali terbayang raut wajahnya apalagi dengan jejak lingkarannya.
Entah mengapa, meskipun ku telah mencoba menjauh justru buatku semakin maju untuknya. Ku menerima semua yang telah terjadi, mencoba mengikhlaskan nya untuk orang lain. Mencoba bisa terus dalam kepalsuan rasa, yang tak ingin semuanya mengerti akan kesedihanku yang nyata tapi mengerti akan kebahagiaan yang palsu.
Tak sadar akan kehadiran Kak Fino yang sedari tadi berdiri di belakangku, memperhatikan ku dan mulai bergabung di sebelahku.
“bengong aja De, masih kepikiran Vendi?” tanya Kak Fino membuka percakapan denganku.
“hehe, iya nih Kak, nggak bisa hilang dari dulu masih sama malah semakin aku mencoba semakin maju Kak.”
“kok bisa gitu si?”
“nggak tahu Kak, padahal dia juga udah punya pacar.”
“ooh udah punya pacar sekarang dia?”
“iya, tapi baik kok Kak pacarnya.”
“syukur deh, tapi kamu pasti sedih yak lihatnya?”
“yak mau gimana lagi Kak, emang nggak jodoh mungkin aku sama dia.”
“sabar yak De, oh iya gimana ujiannya?”
“Alhamdulillah bisa Kak, tapi doain yak Kak semoga hasilnya memuaskan.”
“amin, pasti lha Kakak doain kamu. Oh iya ngomong-ngomong mau ngelanjutin kemana?”
“penginnya ke UGM Kak.”
“lho kok UGM sih De, kenapa nggak bareng aja sama Kakak?”
“pengin di sana kan suasananya lebih tenang biar bisa lupain aja perasaan ku.”
“yakin mau ngelupain dia dengan cara itu?”
“mungkin Kak, tapi sebenernya aku nggak ingin melupakan pertemanan ini Kak tapi aku pengin ngelupai semua masa lalu ku yang jika mengingat itu sakit Kak.”
“yah berarti jauh dong sama Kakak?”
“tenang aja Kak, aku akan sering kok ngabarin Kakak, kalau soal datang lihat nanti aja ya Kak kalau nggak sibuk.”
“tuh kan belum apa-apa aja udah sibuk, apalagi nanti.”
“hehe bercanda Kak, tapi aku pengin ambil jurusan sama kayak Kakak.”
“ciyeee yang mau jadi penulis, kayaknya bentar lagi nih.”
“hihi, Amin. Kakak nih bisa aja, doain aja Kak, oh iya jangan pelit-pelit lho ilmunya.”
“itu pasti De, tapi kok Kakak justru nggak pengin jadi penulis yak De?”
“haha, bantuin Adenya aja ya Kak.”
“siap lha, oh iya kamu kan udah nganggur yak De?”
“iya emang kenapa?”
“jalan-jalan yuk kapan-kapan.”
“kemana?”
“kemana aja, kan sekalian nunggu hasil ujian.”
“ok, tapi Kakak yang bayarin yah?”
“sip deh.”
Bercengkerama dengan Kak Fino buatku sedikit merasakan kehadiran Vendi. Yah Vendi lagi deh, tapi dalam artian sahabat untuk kali ini. Sosok Kak Fino buatku sangat penting, di kala tak lagi teman untuk ungkapin rasa, dia lha sosok yang tepat. Semuanya ku curahkan terhadap Kak Fino, karena menurut ku dia yang akan dapat menasehati ku dan akan membimbing ku di kala salah jalan. Tapi Laras pun tak kalah dari Kak Fino, masing-masing memiliki satu ruang yang sama dalam hatiku.
Pengumuman masih satu bulan lagi, tak ada aktivitas yang kami kerjakan namun banyak juga yang mencari informasi tentang Universitas yang akan di tempati nanti setelah lulus. Ku dengar kabar putusnya Vendi dengan Claudya, cukup buatku kaget dan penasaran akan sebabnya. Padahal aku harap mereka dapat berlanjut sampai maut memisah karena satu sama lain memiliki kelebihan yang menonjol. Tapi aku sadar kelebihan tak mengalahkan cinta.
“Ras, emang bener yah kalau Vendi sama Claudya putus?” tanyaku dengan penasaran, bukan penasaran karena senang tapi kaget aja karena sudah cukup lama dalam basis remaja menginjak kata bulan.
“iya tapi aku juga kurang tahu sih sebabnya apa.” Jawab Laras lugu.
“aku kira mereka akan satu kampus lagi nanti setelah lulus eh malah kandas di sini.”
“namanya juga hubungan, kita nggak akan tahu sampai kapan hubungan itu akan berlanjut bahkan yang sudah bertahun-tahun pun tak jadi melanjutkan ke pernikahan.”
“iya Ras, kamu kayak udah berpengalaman aja deh.”
“ih apaan sih kamu, ada-ada aja.”
“eh lagian kamu dari dulu belum pernah cerita seseorang deh.”
“hehe, belum ada yang cocok aja.”
“masa sih?”
Kini giliran ku meledek seorang Laras, terlihat malu-malu dari wajahnya. Terbukti dia langsung menghindar dari ku dan pergi meninggalkan ku di bangku kelas ini. Kelas kini sepi Karena kelas 12 memang sudah bebas keluar masuk sekolah, tidak ada lagi hukuman ketika tidak masuk maupun keluar sekolah.
Saat ku hendak bangun dari tempat duduk terlihat seorang Vendi sedang menyendiri, kini Vendi lumayan sering menyendiri seperti orang yang sangat mempunyai masalah. Sebagai teman aku menghampirinya.
“kamu kenapa Ven?” tanyaku dengan waspada takut kemarahan yang akan muncul.
“kenapa apanya?” jawabnya dengan lembut membuat ku merasa lega.
“kamu kayaknya akhir-akhir ini sering menyendiri, apa kamu punya masalah?”
“enggak kok, mungkin perasaan mu aja kali.”
“aku cukup tahu kamu Ven, jadi kalau mau cerita, cerita aja.”
“ok, nanti pulang sekolah kamu ikut aku.”
“ikut kamu? Mau ngapain?”
“katanya mau tahu ceritaku.”
“eh tapi..”
“nggak ada tapi-tapian.”
Kata terakhir itu membuat seorang Vendi pergi entah kemana, tapi yang jelas hati ku masih bertanya “mau kemana sih? Kok pakai pergi segala?”. Memikirkan hal yang tak bisa di tebak untuk saat ini. Hanya nurut yang bisa ku lakukan untuk menjawab semua ini. Mungkin ini bisa membuatnya bahagia lagi setelah tersakiti olehku.
Memang benar apa yang di ucapkan Vendi, saat aku dan Laras keluar dari kelas, dia telah menunggu tepat di depan gerbang sekolah. Sebenarnya ragu-ragu akan ikut karena dia belum lama ini putus dengan Claudya takutnya akan di sangka negative sama orang lain tapi harapan ku untuk bisa menebus kesalahan ini besar karena mungkin ini moment terakhir bersama Vendi selagi masih berada dalam lingkup sekolah. Entah dia akan melanjutkan ke kampus mana, aku pun tak pernah tahu.
“yuk,” ajak Vendi terhadap ku.
Kata itu membuat kaget sahabatku Laras. Sontak matanya langsung memandangku dengan bulat. Aku hanya tersenyum saat itu. Aku dan Laras masih berada di perjalanan menuju gerbang.
“itu nggak salah Ya?” tanya Laras terhadap ku.
  “hehe nggak kok,” jawabku.
“dari kapan udah baikan?”
“sebenernya udah agak lama sih cuma jarang ngobrol aja.”
“ooh, semoga ini menjadi awal dari kebahagiaan kalian lagi yak.”
“amin, doain aja.”
“sip, hati-hati yak.”
Sampai tepat di samping motor Vendi, aku dan Laras berpisah di gerbang ini karena dia telah di jemput oleh temannya. Namun sebelum berpisah masih sempat kami ngobrol bertiga, kangen masa-masa ini. Sudah jarang terlihat bertiga lagi semenjak kejadian itu. Masing-masing terlihat sibuk sendiri dan kali ini akan menjadi awal yang indah. Semoga itu harapan yang terlukis di langit biru itu menajadi kenyataan dalam hidupku.
“kamu nggak ikut Ras?” ajak Vendi dengan senyumnya.
“eh nggak lha, nanti malah ganggu kalian berdua,” jawab Laras sambil bergurau.
“ih apaan sih kamu Ras, kan kita semua temen,” jelasku.
“beneran nggak mau ikut?” tanyaku meyakinkan penawaran Vendi.”
“iya nih, sekalian jalan-jalan kita bertiga kan udah jarang kita ngobrol,” lanjut Vendi.
“ini juga udah ngobrol kan?” ucap Laras.
“maksudnya bukan itu Ras,” kataku yang geram akan ulah Laras.
“hehe, nggak lha udah di jemput juga sama temen ku, lain kali aja mungkin bisa bareng-bareng lagi,” ujar Laras meyakinkan jawabannya.
“oh, yak udah kita tinggal yah,” pamit Vendi melajukan kendaraannya setelah ku berada di belakang Vendi.
“iya, hati-hati yak kalian,” kata Laras dengan sedikit teriak melihatku yang mulai hilang dari penglihatannya.
Sepanjang perjalanan ini aku hanya diam, belum ada yang kata yang keluar dari mulut. Ini menjadi suasana yang canggung buatku. Tapi setelah sekian lama di perjalanan ini pun menjadi sebuah percakapan yang serius bagi kami.
“Ven, kamu mau bawa aku kemana sih kok nggak nyampai-nyampai?” tanyaku di tengah perjalanan ini.
“udah tenang aja, aku nggak bakal nyulik kamu kok,” jawabnya enteng.
“iya maksud ku juga bukan itu, aku nggak enak aja sama Claudya.”
“nyantai aja, lagian ini juga aku yang ngajak, oh iya satu lagi aku sama Claudya itu udah putus.”
“iya aku tahu kamu udah putus tapi kan belum lama.”
“kok kamu udah tahu si?”
“itu berita nyebar kali satu sekolah juga tahu.”
“masa sih? Apa kamu cari tahu tentang aku yah,” ledeknya.
“ih apaan sih PD deh.”
“haha, iya emang tapi jangan salting juga tuh muka.”
“rese yah kamu, udah ah kamu nggak usah bercanda lagi kan lagi bawa motor.”
“tenang aku udah ahli kok naiknya.”
“naik sih emang siapapun ahli kali.”
“oh iya, hhe tapi kalau yang ini?”
Vendi mempercepat laju motornya dan jalan ber zig-zag layaknya geng motor mengendarainya, untung jalannya lagi sepi jadi nggak terlalu bahaya. Tapi buatku ini senam jantung, aku memang takut akan kecepatan tinggi apalagi dengan jalan zig-zag itu. Memperkuat pegangan ku kea rah besi motor membuat sang Vendi tak tega melihatku, langsung tangan Vendi melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Aman memang yang terjadi dan nyaman yang ku rasakan tapi ketakutan ini masih tetap terasa. Tak ada yang ku ucapkan kala itu, merasakan dalam kenyamanannya.
Sampailah aku dan Vendi di tempat yang dia rencanakan, tiba di sebuah danau dengan aliran yang tenang dan masih banyak kupu-kupu terlihat. Sungguh indah pemandangan ini, pemandangan yang langka. Aku turun dari sepeda motor itu, masih terlihat jelas ketakutan ku saat itu dan tak terasa air mata ku terjatuh beberapa tetes saja. Takut yang sangat ku rasakan, benar-benar takut yang ada dalam hati ini. Vendi menyadari itu saat dia membuka helmnya.
“kamu kenapa? Kok nangis?” tanyanya dengan sangat perhatian terlihat dari matanya.
“enggak kok, ini tadi kelilipan aja,” jawabku mencoba menyembunyikan darinya.
Di pegangnya kedua telapak tangan ku olehnya. Menyatulah tangan kita dalam satu genggaman, aku masih menunduk menyembunyikan mataku. Tapi perasaannya lebih peka dari apa yang ku bayangkan. Dia langsung menghadapkan mukaku dengannya, terlihat tetesan air mataku jelas di depan matanya, beberapa jarinya mulai mengusapkannya ke mataku agar taka da lagi air mata yang jatuh. Tenang, nyaman, namun bingung akan perasaan ku ini. Apakah semua itu akan hadir lagi ketika ku coba untuk mengikhlaskannya.
“tangan kamu sampai gemeteran, kamu ketakutan yak?” perhatian yang lagi-lagi terlihat jelas dan terlihat kekhawatiran yang dia rasakan.
“makasih udah nenangin aku Ven,” ucapku singkat tak menjawab pertanyaan Vendi.
“kamu ketakutan yak gara-gara aku tadi bawa motornya kecepatan dan kayak geng motor?”
Aku hanya mengangguk saat dia bertanya seperti itu, tak sanggup untuk mengucapkan sesuatu karena benar-benar tenang berada di dekatnya.
“maaf banget Ya, aku nggak tahu kamu akan setakut ini.”
“iya nggak apa-apa kok.”
“yak udah, sekarang kamu tenang yah, aku janji nggak akan ngebut-ngebut lagi kayak tadi.”
“iya.”
“jangan nangis lagi yah, kamu senderan aja di bahu ku. Tenangin diri kamu dulu.”
“makasih yah Ven.”
Senyuman nya menjawab ucapanku, bersender di bahunya membuatku menajdi lebih tennag, ketakutan itu sirna dalam waktu yang singkat. Terlarut dalam kenyamanan ini, terduduk dengan suasana yang tenang menjadi kebahagiaan baru setelah sekian lama telah hilang.
Tak lama uluran tangan Vendi membuatku untuk berdiri, mengajak ku untuk berlatih sepeda motor. Dia memang tahu kalau aku belum bisa mengendarai motor makanya aku selalu di antar jemput. Dia telah mempersiapkan semuanya, motor yang akan ku kendarai bukanlah motornya melainkan motor sewaan yang sudah tersedia dan siap untuk ku pakai.
“kamu coba yah belajar naik motor,” ujarnya.
“tapi aku masih takut,” kataku lesu.
“tenang aja ada aku kok yang bakalan ngajarin kamu,” ucapnya meyakinkanku.
“iya deh, aku coba.”
“nah gitu dong, aku duduk di belakang kamu yak.”
Ku tersenyum saat dia benar-benar ingin mengajari ku mengendarai sepeda motor. Ketakutan memang ada tapi sedikit yakin karena masih dalam keadaan aman bersama Vendi. Mulai ku beranikan melajukan sepeda motor itu, sedikit demi sedikit memutari danau ini. Lumayan bisa dalam sekejap, mungkin memang mudah tapi aku pun harus berhati-hati mengendarainya. Aku tak menyadari bahwa ada lubang yang tak terlihat di tengah jalan ini, langsung ku banting setir motor ini, aku tak memikirkan apa yang terjadi tapi kedua tangan dari belakang sigap memegang tangan ku agar dapat terkendali alhasil semua baik-baik saja.
Jantung berdegup lebih kencang, hampir saja ku tak bisa mengendalikannya. Ku berhentikan motor ini agar dapat istirahat.
“nih minum, pasti capek,” tawar Vendi menyodorkan sebuah minuman dingin.
“thanks,” jawabku singkat.
“oh iya tadi makasih yah udah ngendaliin motornya,” lanjutku.
“no problem.”
Capek ku kini mulai hilang, hampir saja aku lupa dengan tujuan kami ke tempat ini. Langsung saja aku tanyakan padanya sebelum semua itu hilang dari ingatanku.
“Ven, kamu ngajak aku ke sini katanya mau cerita kan?” tanyaku sambil terlentang dengan melipatkan kedua tanganku sebagai alas tidur. Melihat langit sore yang cerah akan pemandangan yang indah.
“kamu beneran mau tahu alasan aku putus sama dia?”
“iya, aku lihat kamu sama dia udah cocok lho.”
“andai kamu tahu Ya, perasaan ku nggak pernah aku taruh ke hati yang lain melainkan hanya untuk hatimu,” benak Vendi.
“kok bengong sih?” ucapku melambaikan tangan.
“eh nggak apa-apa, mungkin belum jodoh aja.”
“beneran?”
“iya, namanya juga jodoh siapa yang tahu, apalagi aku sama dia baru pacaran belum terikat janji.”
“oh gitu yah.”
“aku tahu Ven, itu bukan alasan utama hubungan kamu sama Claudya putus. Apa mungkin itu karena aku?” dalam hati ku sambil mempertanyakan pada diri sendiri.
“latihan lagi yuk?” ajaknya mengalihkan pembicaraan.
“tapi aku takut, tadi aja mau jatuh,” jawabku tak yakin.
“udah deh, optimis aja kan masih ada aku, aku akan berusaha jagain kamu kok,” ucap Vendi meyakinkanku.
“mencoba itu nggak cukup satu kali, ketika kita jatuh bangkit lagi, jatuh bangkit, jatuh bangkit itu yang bisa membuat kita bisa,” lanjut Vendi menasehatiku.
“yak udah deh, makasih Ven udah terus ada buatku,” jawabku yang mulai yakin.
“ok, itu gunanya sahabat, maaf kalau aku saat itu tak bisa memposisikan keadaan aku dan kamu, maaf telah menyia-nyiakan waktu bersamamu,” katanya membuka sebuah salah paham yang cukup lama.
“nggak kok Ven, aku memang salah dan pantas untuk di perlakukan seperti itu justru aku berterima kasih kamu masih mau ada di samping ku dan bisa buatku tersenyum lagi.”
“itu karena aku ingin terus bisa buatmu nyaman lagi, tak ingin aku mengulangi kesalahan yang sama telah menyia-nyiakan mu dan terlalu mementingkan egoku,” hati Vendi mulai berkata.
“sama-sama, kali ini kita tinggalkan masa lalu yang suram itu, ok,” kata Vendi.
“siap, kita mulai dari awal lagi,” ujar ku dengan semangat.
“yak udah yuk latihan lets go,” ajak Vendi dengan semangat.
Memulai dengan menancapkan gas motor ini. Masih dalam posisi yang sama, aku yang mengendarai sepeda motornya dan Vendi berada di belakangku. Mengarahkanku, membimbingku, melatihku, dan membuatku merasakan deg-degan berada dekat dengannya. Masih dalam lingkungan danau ini, ku lihat banyak kupu-kupu berterbangan, ingin ku gapai kupu-kupu itu hingga memecahkan konsentrasi ku dan akhirnya aku oleng bersama motorku. Kali ini Vendi tak sempat mencegahnya alhasil semuanya pun jatuh tanpa terkecuali.
Kaki kanan ku tertindih sepeda motor, sedangkan Vendi hanya lecet di daerah tangan. Dia tak mementingkan keadaannya melainkan langsung menuju ke arahku dan mengangkat sepeda motornya.
“kamu gimana? Sakit yah?” tanyanya dengan sangat khawatir dan langsung membawaku ke arah istirahat tadi.
“nggak apa-apa kok Ven,” jawabku sambil memegangi kaki kanan ku.
“sini kamu duduk dulu yak, aku mau cari P3K dulu,” katanya yang hendak pergi namun di cegat olehku dengan memegangi tangannya.
“nggak usah Ven, ngerepotin kamu, ini cuma luka sedikit aja kok nanti juga sembuh,” jelasku.
“kamu itu ngomong apa sih, lihat tuh kaki kamu udah banyak darahnya tahu, kamu tunggu disini yak.”
Dengan pasrah aku menurutinya, aku hanya meniup kakiku yang parah di bagian lutut untuk mengurangi rasa sakit ku. Tak lama Vendi pun datang membawa kotak P3K.
“sini kakimu,” ujar Vendi menarik kakiku dengan pelan.
“eh biar aku sendiri aja, udah banyak ngerepotin kamu juga.”
“nggak usah bawel, udah kamu diem aja.”
Takut dengan kata-kata Vendi tapi senang melihat perhatian yang tak pernah habis untuk ku. Sedikit demi sedikit dia mengobati ku dengan mengoleskan obat merahnya. Aku hanya memperhatikannya karena tak berani lagi untuk melontarkan sebuah kata.  Sesekali dia melirik ku mungkin merasa kalau aku sedang dalam kesakitan namun hanya terdiam.
“tahan yak, sakitnya bentar lagi hilang kok,” katanya melihatku kesakitan.
“iya.”
“maaf yak, gara-gara aku ngajakin kamu belajar motor eh malah jadi kayak gini,” katnay merasa bersalah.
“apaan sih, ini kan musibah jadi nggak perlu ada yang di salahkan. Lagian ini aku yang salah karena aku yang bawa motornya. Maaf juga udah buat kamu repot ngobatin aku sedangkan lukamu masih bercucuran dengan darah.”
“katanya nggak perlu ada yang disalahkan kok malah nyalahin diri sendiri sih.”
“hehe,” aku terkekeh mendengar ucapannya.
“udah selesai nih,” katanya melepas P3K dari tangannya dan meletakkan di sebelahnya.
“makasih, eh sini deh kotaknya,” ucapku menyuruh Vendi mengambil kotak P3K itu.
“untuk apa sih?” tanyanya masih penasaran.
“tanganmu sinih,” jawabku menarik tangannya.
“eh nggak usah, ini nggak seberapa kok,” ujarnya sudah menebak apa yang akan aku lakukan.
“sekarang tinggal kamu yang diem, nggak usah bawel dan nggak usah nolak,” jelasku dan hanya di balas dengan senyuman.
“kamu kan cowok pasti tahan sama sakit ini kan,” ledek ku.
“pastinya dong,” ujarnya dengan begitu PD.
“udah selesai nih, jadinya kan nanti nggak infeksi,” kataku layaknya seorang dokter.
“iya deh iya, makasih manis ,” ucapnya dengan yakin.
“iya sama-sama cakep ,” timpal ku tak mau kalah.
“eh mending kita main di danau itu aja,” ajaknya dengan semangat padahal masih dalam keadaan sakit.
“mau ngapain?” tanyaku dengan heran masih sempet-sempetnya main setelah kejadian ini.
“kita main di dalam perahu,” jelasnya.
“tapi kan kita masih kayak gini?” tanyaku.
“hehe iya sih, tapi mumpung masih ada waktu nih.”
“ok deh.”
“mau aku bantuin kamu jalan?”
“nggak usah Ven, aku bisa kok.”
Belum lama jalan aja udah goyang badanku hampir jatuh namun tertangkap oleh Vendi, walaupun tangan yang satu masih sakit tapi dia masih kuat untuk menopangku. Bertemulah mata kami berdua. Indah di pandang, namun tak ingin terlalu lama memandang.
“tuh kan, udah deh nurut aja, kamu ini yah memang susah di bilangin,” omelnya.
“hehe, iya deh iya.”
Tertatih berjalan dengan bantuan Vendi membuatku lebih mudah menuju ke perahu itu. Sesekali pandangan itu bertemu, namun kami masih malu-malu untuk saling menatap. Hanyalah sebuah salah tingkah yang terlihat diantara kami. Sangat jelas terlihat dari tingkah kami yang senyum-senyum sendiri.
Berada dalam perahu, namun dengan dayungan mesin. Kami hanya menikmati indahnya pemandangan menjelang petang. Memutari sebuah danau dengan perahu yang kecil. Larut dalam kenyamanan ini. Mendengarkan sebuah MP3 dari HP Vendi, dia memilih lagu yang sangat menenangkan yaitu Takkan Lelah by Rizky Nazar.
Bebarengan dengan adzan maghrib, kami berhenti di salah satu masjid untuk menjalankan sholat maghrib berjamaah. Tak cukup lama untuk melakukannya dan kami lanjutkan perjalanan pulang. Vendi membawa motornya dengan kecepatan yang standar karena luka tangannya di sebelah kanan.
Tiba di gerbang rumahku, melihat sosok Kak Fino berada di halaman rumah. Bergabunglah Kak Fino bersama kami di ambang pintu gerbang.
“baru pulang?” tanya Kak Fino terlihat khawatir.
“iya Kak, maaf yak Kak telat,” jawabku ketakutan.
“maaf Kak kami pulangnya telat, aku yang ngajakin dia main jadi jangan marahin dia yak Kak,” jelas Vendi takut aku di marahi Kak Fino.
“oh iya nggak apa-apa kok, lagian tadi Laras udah ngabarin Kakak,” ujar Kak Fino.
“syukurlah,” ucapku lega.
“oh iya kalian kenapa kok luka gitu?” tanya Kak Fino melihat kami terluka.
“jatuh dari motor Kak, tadi aku ngajarin Tya naik motor eh malah jadi kayak gini Kak,” jelas Vendi.
“tapi kalian nggak apa-apa kan?” tanya Kak Fino lagi-lagi khawatir dengan kami.
“nggak kok Kak, tenang aja, kita cuma lecet sedikit aja,” jawabku.
“terus kamu sekarang udah bisa?” tanyanya terhadapku.
“lumayan Kak, hehe,” ucapku.
“yak udah aku pamit dulu yak Kak, Tya maaf udah buat kamu luka kayak gitu pasti sakit yah,” ujarnya merasa bersalah.
“eh nggak apa-apa kok, nggak usah minta maaf justru aku makasih sama kamu udah mau ngajarin aku,” kataku.
“iya sama-sama, jangan kapok yah main sama aku,” ucapnya.
“aku nggak akan kapok sama kamu Ven,” benak ku menatapnya.
“eh kamu nggak mau mampir dulu?” tanyaku.
“nggak usah lha, lain kali aja,” jawabnya.
“lain kalinya sekarang,” timpal Kak Fino kepada Vendi yang merebut kunci motornya.
“lho kok diambil Kak?” tanya Vendi.
“udah masuk yuk, main bakar-bakaran aja di belakang rumah,” jelas Kak Fino.
“emang nggak ngerepotin?” tanyanya.
“apaan sih, nggak ada yang di repotin tapi kamu ijin dulu sama orang rumah mu,” jawabku.
“iya deh, bentar yak aku sms dulu,” ucap Vendi.
Ku berjalan mendahului mereka dengan langkah yang masih agak pincang, di susul Kak Fino di belakangku. Vendi mengetik sebuah sms untuk Mamahnya memberitahu akan pulang telat karena berada di rumahku. Setelah terkirim dan ada balasan bahwa Mamahnya telah memberi izin. Dia menyusul tak lama dari langkahku, lalu menjejerkan tubuhnya di saming ku dan di raihlah satu tangan kanan ku untuk berada di pundak Vendi dan berjalan bersamanya.
“susah yah?” tanya Vendi.
“baru aja sebentar masuk Ven,” jawabku.
“hehe, tapi aku akan terus bantuin kamu,” ucapnya.
“nggak usah lha lagian cuma luka sedikit aja kok,” kataku.
Tatapan matanya memberhentikanku dalam pertanyaan ini. Mengetahui apa jawabannya, berjalan menuju kamar. Meninggalkan ku sendiri di dalam kamar dalam waktu yang singkat, Vendi pergi ke kamar Kak Fino untuk meminjam bajunya.
Aku dan Vendi telah siap untuk bakar-bakaran, menuju di taman belakang, terlihat Kak Fino sibuk mempersiapkannya namun telah ada Laras yang membantunya.
“lho kok kamu disini Ras?” tanyaku kaget.
“iya Ya, tadi aku di telfon sama Kak Fino,” jawabnya.
“ini kamu sama Kak Fino lagi ada sesuatu yah? Kok kayaknya lebih deket aja nih,” ledek ku.
“hayoo, jangan-jangan kalian jadian yah?” tebak Vendi.
“hah?, jangan ngaco deh,” tepis Laras.
“bentar lagi,” ucap Kak Fino mengagetkan semua yang berada di situ.
“eh nggak-nggak,” lanjut Kak Fino.
“ngaku aja deh Kak kalau suka,” paksaku terhadap Kak Fino untuk mengutarakan perasaannya.
“kamu nih yah, diem aja deh,” ujar Kak Fino.
“udah deh kalian nggak usah mikirin itu lagi, sinih bantuin kita kek,” omel Laras.
“hehe, biarin kalian aja berdua,” ledek ku.
Aku dan Vendi bergabung dalam keramaian ini, mulai jadi persiapannya. Satu persatu telah di persiapkan dan mulailah untuk membakar jagung. Kami semua membakar satu jagung namun sebuah kesulitan jelas terlihat dari arah Vendi yang kesulitan menusuk satu jagungnya karena tangan kanannya sakit. Ku bantu dia untuk menusuk jagungnya dan mulailah kami membakar dengan asik. Di temani ribuan bintang menerangi malam yang cerah ini, walaupun gelapnya malam menutupi bumi namun terangnya bintang mampu menerangkan hati ini dan kebersamaan ini.
Satu per satu jagung telah matang dan siap untuk di makan, udara dingin mampu menusuk sampai kalbu, jaket mulai diambil oleh Vendi dan Kak Fino di dalam rumah. Kak Fino mengambil jaket untuknya sendiri dan Laras yang terletak di ruang tamu. Sedangkan Vendi mengambil jaketnya di motor bersama jaketku yang berada di kamarku. Vendi melihat sebuah foto yang terpajang di kamarku cukup besar yaitu foto keluargaku dan foto ku saat bersamanya.
“kamu pajang fotomu saat bersamamu, ini apa artinya? Tapi aku tak ingin menanyakan semua itu takut kamu nanti akan canggung lagi. Biarkan semua ini mengalir, ketika memang hati ini satu pasti akan menyatu, aku terlalu nyaman dengan keadaan kita saat ini,” dalam hati Vendi mengeluarkan semua perasaannya.
Tinggalah aku dan Laras berada berdua, berbincang dan bercerita semua yang kita rasakan kini saat para cowok telah pergi sejenak.
“gimana tadi jalannya?” tanya Laras dengan penasaran.
“seneng banget aku Ras, bisa sedekat ini lagi sama Vendi,” jawabku.
“syukurlah, tapi kok kalian bisa luka sih?” tanyanya lagi seperti wartawan.
“hehe panjang lha ceritanya tapi intinya dia ngajarin aku naik motor eh malah aku jatuh,” jelasku.
“ciyeee Tya, pasti terbang nih ke langit tujuh.”
“haha bisa jadi, tapi aku seneng hari ini bisa full sama dia, perhatian banget Ras dia sama aku.”
“aku seneng kalau kamu nemuin kebahagiaan ini lagi Ya, kamu memang pantas untuknya begitupun dia memang pantas untukmu.”
“makasih Ras, semoga akan terus seperti ini.”
“amin, berdoa aja yang terbaik tapi jangan berharap terlalu berlebihan, takutnya akan kecewa ketika harapan itu tak menjadi nyata.”
“siap , insyaallah Ras. Oh iya ngomong-ngomong kamu sama Kak Fino ada apaan sih, kok kayaknya lagi ada sesuatu?” tanyaku yang lebih penasaran.
“nggak ada apa-apa kok,” jawabnya.
“kok salting sih Ras,” ledek ku.
“ih apaan si kamu, biasa aja nih.”
“yakin tuh?”
“beneran kok.”
“tapi kok mukamu kayaknya seneng banget bisa sama Kak Fino?”
“biasa aja Tya, tapi aku nyaman sih sama Kak Fino.”
“maksudnya?”
“nggak tahu, aku nyaman aja kalau ada dia.”
“emang kalian sering jalan? Kok bisa bilang nyaman kalau ada Kak Fino?”
“hehe, lumayan sih terus juga emang sering cerita-cerita aja.”
“lho kok nggak pernah cerita sih sama aku?”
“hehe piss, aku malu tahu kalau cerita kan kamu adiknya.”
“yeee emang masalah gitu kalau aku adiknya, lagian aku seneng kok kalau kamu sama Kak Fino.”
“nggak sih, tapi malu aja. Emang seneng gimana?”
“nggak usah malu-malu gitu kali, kan kamu sahabat terbaik aku pasti bisa jadi yang terbaik juga dong buat Kak Fino.”
“amin, semoga aja tapi jangan bilang-bilang yah.”
“bilangin ahhh.”
“ih kamu mah gitu.”
“enggak lha Ras, tenang aja lha. Tapi kayaknya Kak Fino juga suka sama kamu lho Ras.”
“masa sih, tapi aku juga nggak banyak berharap soal itu, nikmati aja keadaan ini.”
“bijak banget nih sahabatku.”
Senyuman Laras menjadi penutup perbincangan kami karena Kak Fino terlebih dahulu datang dan takutnya Kak Fino tahu semua ini. Vendi menyusul di belakang Kak Fino, mereka mulai bergabung dengan ku dan Laras. Mereka duduk di samping kami, Kak Fino berada di samping Laras sedangkan Vendi berada di samping ku dalam posisi melingkar. Para cowok telah memakai jaketnya, sedangkan para cewek masih dalam kedinginan. Para cowok pun tak tega melihatnya langsung melingkarlah jaket yang mereka bawa ke dalam tubuh aku dan Laras. Saling memandang dengan pasangan nya masing-masing. Terpaku dalam kediaman dan kesunyian ini kemudian di lanjut dengan makan jagungnya yang belum sempat terselesaikan.
“main TOD yuk,” ajak Kak Fino selesai makan jagung.
“ngapain main TOD?” tanyaku.
“ya buat seru-seruan aja si,” jelasnya.
“ngga berani yah?” timpal  Vendi.
“oh ngeremehin nih,” jawabku.
Para cowok hanya memperlihatkan kesongongannya. Aku dan Laras akan membuktikannya kini, sebuah tantangan yang seru kali di malam ini. Sebuah permainan dimulai, berawal dari Kak Fino yang terkena putaran itu.
“lala yeye Kak Fino, kejujuran atau tantangan?” ledekku.
“hayoo mana tuh Kak yang dipilih, langsung kena tuh yang ngajakin,” timpal Vendi.
“bentar-bentar mikir dulu,” jawab Kak Fino.
“nggak usah kali Kak, tinggal milih aja kok repot,” semakin ku beraksi meledek Kak Fino.
“kamu mah rese De, ok aku milih kejujuran,” ujar Kak Fino cepat.
“aku yang ngasih yah?” apa satu-satu dari kita?” tanyaku.
“satu aja perwakilan,” jawab Kak Fino.
“bilang aja takut kebanyakan,” ujarku.
“eh tapi bener deh mending satu aja lagian udah malam juga,” bela Laras.
“ciyee ciyee ada yang belain,” ledekku.
“aku idem aja deh, kamu yang mikir silahkan,” ucap Vendi menyerahkan wewenang kepadaku.
“ok, siap-siap yah Kak,” ucapku menakut-nakuti Kak Fino.
“iya udah cuss lha bilang, bikin penasaran aja,” kata Kak Fino.
“siapa orang yang Kakak cintai sekarang, apa alasan Kakak mencintai dia dan apa yang akan lakukan sebagai bukti cinta Kakak?” tanyaku dengan berbagai pertanyaan.
“haduh banyak amat De, ini lagi kenapa harus yang cinta-cintaan segala?” tanya Kak Fino kaget mendengar semua pertanyaanku.
“haha, siapa suruh nantangin main TOD, udah cukup jawab aja kok,” jawabku.
“harus nih di sebutin namanya?” tanya Kak Fino yang terlihat gugup.
“harus dong Kak,” jawab Vendi.
“tuh kan Kak, yang lain juga setuju sama pertanyaanku, ya nggak?” tanyaku kepada Laras yang sedari tadi hanya diam mungkin takut akan apa yang nanti terjadi jika dirinya berada di posisi Kak Fino.
“ehh iya iya,” jawab Laras dengan gugup.
“aku mencintai Laras, nggak tahu kenapa aku bisa mencintainya tapi yang aku tahu karena dia, aku bisa menjadi manusia yang lebih baik dank arena dia aku tetap aku yang apa adanya bukan ada apanya. Aku ingin rasa ini tetap ada sebagai motivator dalam hidupku, walaupun dia tak memiliki yang sama. Aku tak bisa membuktikan apa-apa tapi aku akan terus mencoba membuatnya nyaman walaupun hanya sekedar persahabatan. Aku hanya bisa bilang I LOVE YOU, bukan sekedar kata yang ku ungkapkan tapi itu hati yang tak mampu mengeluarkan katanya,” ucap Kak Fino tegas, mengundang haru sang Laras yang mendengarnya sedangkan aku dan Vendi hanya menatap kaget tak percaya apa yang dilakukannya benar-benar berani.